Foto: Ilustrasi Sel Tahanan

JAKARTA (18 Desember): Wacana pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana oleh Presiden Prabowo Subianto mendapat perhatian serius dari Muslim Ayub, anggota Komisi III DPR RI Fraksi NasDem. Ia menegaskan pentingnya proses seleksi yang ketat agar kebijakan ini tidak disalahgunakan dan tetap adil bagi korban kejahatan.

“Amnesti harus diprioritaskan untuk napi lanjut usia, yang menderita penyakit kronis, atau mereka yang tidak membahayakan masyarakat. Sebaliknya, pelaku korupsi, bandar narkoba besar, dan tindak pidana berat lainnya tidak boleh mendapatkan keringanan ini,” ujar Muslim, Rabu (18/12).


Muslim menekankan bahwa amnesti tidak boleh menjadi celah untuk meringankan hukuman pelaku kejahatan berat. Ia menilai bahwa keputusan ini harus berbasis kriteria yang transparan dan mencerminkan keadilan bagi korban.

“Jangan sampai langkah ini justru melukai rasa keadilan korban. Pelaku kejahatan berat harus tetap dihukum sesuai undang-undang,” tegas legislator dari Dapil Aceh I ini.


Muslim menyambut baik pendekatan kemanusiaan yang menjadi dasar wacana ini. Ia menilai amnesti bisa menjadi peluang bagi napi untuk memperbaiki hidup mereka, terutama bagi kelompok rentan seperti napi lanjut usia, penderita penyakit kronis, dan narapidana kasus politik yang hanya menyuarakan opini tanpa kekerasan.

“Saya setuju napi kasus politik dan pasal penghinaan presiden layak diprioritaskan. Ini juga sejalan dengan penghapusan ketentuan penghinaan presiden dalam UU KUHP terbaru,” tambahnya.


Namun, Muslim mengkritisi gagasan menjadikan napi yang mendapat amnesti sebagai tenaga kerja swasembada pangan atau komponen cadangan. Menurutnya, langkah tersebut berpotensi memicu eksploitasi, kecuali jika diarahkan pada pembinaan dan peluang kerja yang mendukung keberlanjutan hidup napi pascaamnesti.


Muslim juga menilai bahwa pemberian amnesti dapat mengurangi beban kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang selama ini overkapasitas. Namun, ia menegaskan pentingnya reformasi sistem pemidanaan jangka panjang, termasuk sanksi sosial, dekriminalisasi pelanggaran ringan, serta pembaruan UU Narkotika.

“Langkah ini harus menciptakan sistem hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga membina dan merehabilitasi napi secara efektif,” tutup Muslim.

Pendekatan selektif dan berbasis nilai kemanusiaan ini diharapkan tidak hanya menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga membuka jalan bagi reformasi peradilan yang lebih manusiawi dan inklusif.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *