Foto: Anggota Komisi II DPR RI Kamran Muchtar.
Jakarta
Anggota Komisi II DPR RI Kamran Muchtar mendorong adanya regulasi yang memungkinkan surat keterangan (SK) kepala desa dapat digunakan sebagai pengganti akta kematian, sehingga bisa menjadi dasar perubahan daftar pemilih tetap (DPT) bagi pemilih yang sudah meninggal dunia.
Hal tersebut diungkapkan Kamran dalam rangka meminimalisasi fenomena ‘pemilih hantu’ di tiap gelaran pemilu maupun pilkada. Terminologi ‘pemilih hantu’ kerap digunakan untuk penggunaan surat suara oleh pemilih yang sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya. Namun, pemilih yang sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya tersebut tetap terdata di dalam DPT.
“Aturan apa sebenarnya yang membuat supaya (pemilih hantu) ini tidak terjadi? Misalnya mungkin di PKPU harus lebih dipertajam (kalau) keterangan kepala desa itu boleh (digunakan). Karena tidak semua desa yang pada saat (ada warganya yang) meninggal kemudian pemerintahnya menyerahkan akta kematian. Tidak semua. Apalagi desa-desa yang terpencil, dengan akselerasi yang lambat tidak mungkin mengejar tahapan penyelenggaraan pemilu,” ungkap Kamran saat Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan DKPP terkait evaluasi Pemilu 2024 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024)
Legislator NasDem dari Dapil Sulawesi Utara itu mengusulkan agar KPU dan Bawaslu bersama pemerintah membuat kebijakan bersama agar kepala desa dapat menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu atau hasil coklit (pencocokan dan penelitian) KPU dalam hal data penduduk yang meninggal atau tidak diketahui keberadaannya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengungkapkan pada Pilkada 2020 terjadi pemungutan suara ulang di sebuah TPS. Hal itu lantaran kedapatan adanya penggunaan hak suara dari orang yang sudah meninggal. Ia juga menjelaskan salah satu permasalahan pada saat penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu adalah ditemukannya data pemilih yang sudah meninggal namun tidak bisa dihapus lantaran tidak ada dokumen otentik berupa akta kematian.
“Banyak data yang meninggal dan tidak diketahui keberadaannya (tapi) tidak dihapus dari DPT karena tidak ada dokumen otentik, dan dokumen (yang) otentik dikeluarkan hanya oleh pemerintah. Usulannya agar KPU dan Bawaslu bersama pemerintah membuat kebijakan bersama agar kepala desa dapat menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu atau hasil coklit KPU dalam hal data penduduk yang meninggal atau tidak diketahui keberadaannya sehingga data pemilih yang dihasilkan akurat secara de facto dan de jure,” tutur Rahmat.
Dalam menanggapi usul dan permasalahan yang dikemukakan oleh Ketua Bawaslu itu, Ketua Komisi II DPR RI Doli Ahmad Tanjung mengatakan hal tersebut dapat terjadi lantaran lemahnya kesadaran masyarakat untuk taat administrasi.
Menurutnya, masih banyak orang yang tidak tahu atau bahkan abai terhadap tata administrasi kependudukan sehingga permasalahan data kependudukan harus menjadi catatan bagi semua pihak seperti Kementerian Dalam Negeri, termasuk untuk membangun kesadaran tertib administrasi di masyarakat.