Foto: Ilustrasi judi online pada anak.

Jakarta

Paparan judi online terhadap anak-anak dan remaja harus dicegah dan diatasi secara bersama dalam upaya melindungi generasi penerus bangsa.

“Paparan judi online di kalangan anak-anak dan remaja harus segera dicegah dan diatasi bersama, demi mewujudkan generasi penerus bangsa yang memiliki karakter kuat dan berdaya saing di masa datang,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema “Judi Online Membunuh Anak-Anak Indonesia”, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (3/7/2024).

Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Usman Kansong (Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI),

Jasra Putra (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI), dan Debora Basaria (Psikolog, Dosen Ilmu Psikologi Universitas Tarumanagara) sebagai penanggap.

Selain itu, hadir pula Devie Rahmawati (pengamat sosial dari Universitas Indonesia /UI) sebagai penanggap.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memerkirakan nilai judi online pada 2023 senilai Rp327 triliun dalam 168 juta transaksi. Jumlah warga masyarakat yang terlibat judi online sekitar 3,2 juta orang.

Dari jumlah tersebut lebih dari 2% pemain judi online berusia kurang dari 10 tahun atau 80.000 anak-anak. Pemain judi online untuk rentang usia 10-20 tahun berjumlah 11% atau sebanyak 440.000 remaja.

Menurut Lestari, catatan PPATK tersebut harus segera direspons dengan langkah-langkah yang tepat agar paparan judi online di kalangan anak dan remaja dapat segera dicegah dan diakhiri.

Rerie, sapaan akrab Lestari menilai dampak judi online di kalangan muda berdampak buruk terhadap proses pembentukan mental dan penanaman nilai-nilai kebangsaan yang akan menjadi bagian dari proses membangun karakter generasi penerus bangsa.

Di era globalisasi yang sarat akan kompetisi, tegas Rerie yang juga legislator dari Dapil Jawa Tengah II, membutuhkan anak bangsa yang memiliki karakter kuat dan berdaya saing.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menilai paparan judi online terhadap anak dan remaja mengganggu proses pembangunan sumber daya manusia (SDM) nasional yang lebih baik di masa depan.

Rerie sangat berharap semua pihak, para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat mampu berkolaborasi dengan baik untuk mengambil langkah yang tepat dalam memberantas judi online di tanah air.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Usman Kansong mengungkapkan judi online sudah sangat mengkhawatirkan.

Berdasarkan besaran uang yang beredar dalam judi online sampai Rp327 triliun pada 2023, sementara pada kuartal I 2024 peredaran uang pada judi online ini sudah mencapai Rp100 triliun.

Ironisnya, ujar Usman, 70% pemain judi online dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah dan sekitar 2% di antaranya adalah anak-anak.

Dampak yang terjadi, menurut Usman, sangat mengerikan karena pemain judi online berpotensi terganggu secara sosial, psikologis dan ekonomi, yang memicu tindak kejahatan selanjutnya.

Menurut Usman, dalam pemberantasan judi online, pemerintah menghadapi sejumlah tantangan antara lain sumber dan bandar besarnya berada di sejumlah negara tetangga.

Karena itu, ungkap Usman, pemerintah sudah memutus jaringan internet dari Kamboja dan Davao (Filipina). Upaya lainnya, pemerintah melakukan take down 2,2 juta konten terindikasi judi online, serta menutup 6.000 rekening terkait judi online.

Selain itu, tegas Usman, untuk memutus demand judi online, pemerintah berupaya melakukan penyuluhan kepada masyarakat dengan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan aparat agar masyarakat memahami bahaya judi online bagi kehidupan.

Komisioner KPAI, Jasra Putra menilai berdasarkan kriteria anak pada rentang usia 0-18 tahun, paparan judi online saat ini sudah menjangkau ratusan ribu anak.

Jumlah itu, tegas Jasra, sudah sangat mengkhawatirkan dan berharap satuan tugas pemberantasan judi online mampu melakukan pemberantasan, perlindungan, pengawasan dan pencegahan yang efektif terhadap meluasnya paparan judi online di masyarakat.

Menurut Jasra, tanggung jawab perlindungan anak juga berada pada negara dan pemerintah daerah yang harus memastikan terwujudnya generasi emas pada 2045.

Diakui Jasra, situasi perlindungan anak kita saat ini belum optimal pelaksanaannya sesuai regulasi yang ada. Sementara, tambah dia, kompleksitas kekerasan terhadap anak cenderung meningkat.

Kondisi tersebut, tegas dia, menyebabkan pemenuhan hak anak belum sepenuhnya terealisasi ditambah lagi dengan paparan judi online, narkoba dan pornografi.

Apalagi, tegas Jasra, saat ini sebagian anak Indonesia diasuh oleh media sosial, sehingga perlu literasi digital dalam pengasuhan agar dapat mencegah, mengatasi potensi paparan judi online melalui ruang digital.

Dosen Ilmu Psikologi Universitas Tarumanagara, Debora Basaria berpendapat para pemangku kepentingan harus melakukan tindakan preventif agar kasus-kasus judi online tidak bertambah semakin banyak.

Debora berpendapat ada kecenderungan remaja berperilaku impulsif, bertindak tanpa rencana untuk mendapatkan pengalaman baru.

Bahkan, tambah dia, kalangan remaja saat ini juga ikut terlibat mempromosikan judi online, sehingga kegiatan judi online merupakan kegiatan yang tidak awam lagi bagi remaja.

Menurut Debora, sejumlah faktor yang memicu ketertarikan remaja terhadap judi online antara lain faktor individu, keluarga, dan lingkungan sosial.

Pengamat sosial UI, Devie Rahmawati berpendapat banyak hal yang menyebabkan orang terperosok ke judi online. Antara lain, tambah dia, selain mudah diakses, tampilannya berupa game dan uang yang dipertaruhkan dalam satu permainan relatif terjangkau.

“Sehingga orang yang semula tidak tertarik judi, malah jadi pemain judi online,” ujar Devie.

Apalagi, ujar dia, salah satu pintu masuk judi online adalah konten pornografi.

Di sejumlah negara, ungkap Devie, judi online dianggap bisnis yang legal. Dunia digital yang tidak mengenal batas negara, jelas dia, menjadi pintu masuk judi online yang sangat terbuka.

Sehingga, tegas Devie, bila dalam pemberantasan judi online hanya menggantungkan pada negara dan aparat, akan sulit untuk berhasil.

Keluarga, jelas dia, merupakan pintu utama masuknya judi online, sehingga anak usia 0-6 tahun seharusnya tidak boleh terpapar digital.

“Bila di setiap rumah bisa menutup rapat paparan judi online terhadap keluarga, insyaallah masalah judi online akan bisa kita atasi sebagai sebuah bangsa, ” pungkas Devie.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *