Foto: Ilustrasi impor barang elektronik.
Jakarta
Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mendukung langkah pemerintah yang menertibkan impor produk elektronik.
“Harus ada pemihakan yang jelas dan tegas. Ada tiga hal yang perlu menjadi pegangan, yakni patuhi ketentuan TKDN, harus ada konsep industrialisasi, dan harus berwawasan lingkungan,” ungkap Gobel di Jakarta, Senin (13/4/2024).
Hal itu Gobel ungkapkan menyambut terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian No. 6/2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Penerbitan peraturan Menperin ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo tentang defisit neraca perdagangan produk elektronik pada 2023.
Terdapat 139 pos tarif elektronik yang diatur dalam Permenperin tersebut, dengan rincian 78 pos tarif diterapkan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) serta 61 pos tarif lainnya diterapkan hanya dengan LS.
Di antara jenis produk dari 78 pos tarif tersebut di antaranya adalah AC, televisi, mesin cuci, kulkas, kabel fiber optik, kulkas, dan laptop. Berdasarkan keterangan pemerintah, pada 2023, untuk produk AC saja, dari kapasitas terpasang produksi AC sebesar 2,7 juta unit, namun realisasinya cuma memproduksi 1,2 juta unit. Artinya utilisasi produksinya hanya 43%. Namun akibat banjir impor, pada 2023 Indonesia mengimpor 3,8 juta unit.
Gobel mengatakan, untuk mengerem laju impor sebetulnya Indonesia sudah memiliki ketentuan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang harus mencapai 40%. Namun ternyata ketentuan itu masih sering dilanggar.
Jika pun ada yang memenuhi ketentuan TKDN, katanya, ternyata hal itu masih bisa ‘diakali’ sehingga seolah-olah memenuhi batas minimal 40%. Karena itu ia meminta pemerintah memberikan syarat kedua, yaitu keharusan ada konsep industrialisasi.
“Tujuan mengerem laju impor dan ketentuan TKDN itu kan sebetulnya agar industri dalam negeri tumbuh dan investasi masuk sehingga tenaga kerja terserap, devisa terhemat, dan ekonomi tumbuh pesat. Nah, pemenuhan TKDN tanpa konsep industrialisasi hanya menghasilkan akal-akalan saja. Apa itu konsep industrialisasi? Dari setiap produk yang ada harus diimbangi dengan berdirinya industri komponen suku cadangnya,” katanya.
Adapun syarat ketiga, kata Gobel, keharusan produk yang ramah lingkungan. Hal itu sesuai dengan target pemerintah untuk mewujudkan net zero emission. Sebagai contoh ia menyebutkan maraknya impor AC. Produk AC impor tersebut, katanya, sebagian besar berkualitas rendah, tidak ramah lingkungan, dan tidak memiliki suku cadang.
“Tiga hal ini sangat merugikan konsumen karena produk tersebut selain tidak membuat dingin ruangan juga cepat rusak dan akan menjadi barang rongsok,” jelasnya.
Gobel mengingatkan, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar.
“Jumlah penduduk yang besar ini merupakan kekuatan tersendiri. Harus bisa didayagunakan dengan sebaik-baiknya. Jika tidak maka jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban yang sangat besar pula,” ujarnya.
Jumlah penduduk yang besar berarti ketersediaan tenaga kerja yang besar, apalagi Indonesia sedang berada dalam fase bonus demografi. Ini berarti jumlah tenaga produktif sangat besar. Selain itu, jumlah penduduk yang besar berarti jumlah pasar yang besar.
“Jumlah penduduk yang besar ini yang bikin ngiler negara lain untuk menjadikan Indonesia sebagai target pasar mereka. Dengan segala cara pasti mau mereka lakukan. Jika pertahanan Indonesia mudah ditembus dan dibanjiri produk impor maka banyak kerugian yang menimpa Indonesia dan seperti memberi makan buaya yang kemudian mencabik-cabik kita sendiri. Ini namanya kebodohan yang berulang,” paparnya.
Setidaknya ada lima kerugian yang diungkapkan Gobel akibat Indonesia menjadi negara pelahap impor. Pertama, uang Indonesia untuk membiayai pekerja dan keluarga negara lain. Kedua, pekerja Indonesia kehilangan lapangan pekerjaan.
Ketiga, jika produk impor tersebut digunakan untuk proyek pemerintah maupun BUMN maka dana negara dan dana APBN digunakan untuk membiayai negara lain. Padahal negara dengan susah payah mengumpulkan pajak, bahkan Bea Cukai dihujat netizen akibat pengetatan masuknya barang dari luar negeri.
Keempat, akibat tidak terserapnya tenaga kerja karena industrinya kebanjiran impor maka Indonesia kehilangan potensi tenaga-tenaga kreatif karena mereka menganggur. Kelima, akibat pengangguran yang meningkat maka kemiskinan pun meningkat.
“Mereka kemudian harus mendapat bansos maupun pembiayaan jaminan sosial yang ditanggung negara, yang semuanya menggunakan dana APBN. Jadi akibat jebolnya tanggul impor, Indonesia rugi berlipat-lipat,” tegasnya.