Foto: Ketua Bappilu DPW Partai NasDem Bali Anak Agung Ngurah Gede Widiada yang akrab disapa Gung Widiada.
Denpasar, partainasdembali.org
Partai NasDem tegas menolak sistem pemilu proporsional tertutup dan memperjuangkan agar sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan. Kader-kader NasDem di daerah termasuk di Bali juga bersuara lantang menolak sistem proporsional tertutup.
“Kami selaku kader NasDem di Bali mengikuti keputusan DPP NasDem yang tidak menyetujui proporsional tertutup karena memang pemilu sudah berjalan cukup lama dengan sistem proporsional terbuka sejak tahun 2004,” kata Ketua Bappilu DPW Partai NasDem Bali Anak Agung Ngurah Gede Widiada yang akrab disapa Gung Widiada
“Jadi kalau kita kembali ke proporsional tertutup, kita mengalami kemunduran dalam berdemokrasi karena proses ini sudah berjalan. Secara mental, proses kompetisi pemilu sudah berjalan dengan egaliter di seluruh partai. Tapi kalau lagi dibalikkan ya kita namanya selalu mencoba-coba, demokrasi coba-coba,” tegas Gung Widiada.
Sebagai politisi senior yang sudah hampir 30 tahun mengabdi sebagai wakil rakyat di DPRD Kota Denpasar dengan dua partai berbeda yakni Partai NasDem dan sebelumnya di Partai Golkar, Gung Widiada pernah mengalami dua sistem pemilu yang berbeda baik dengan proporsional tertutup maupun terbuka. Dan berdasarkan pengalamannya, tentu proporsional terbuka yang lebih baik, lebih demokratis, fair dan egaliter.
Menurut Gung Widiada, dalam sistem proporsional tertutup memang otoritas peran partai lebih besar, lebih powerful karena memang proses politik terjadi sesuai daftar nama dan nomor caleg yang disetorkan partai ke KPU. Sehingga pasti proporsional tertutup itu melalui kajian yang dalam sesuai nomor urut.
“Dalam demokrasi saat ini yang menjadi lebih dirasakan tepat sasaran kepada siapa yang layak diberikan kesempatan menjadi wakil rakyat sesuai tingkatannya oleh masyarakat, saya mengalami tentu lebih egaliter dan demokratis dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Memang partai punya otoritas tapi bagaimanapun juga partai harus mendengarkan caleg-caleg yang diinginkan oleh rakyat,” tutur Gung Widiada yang kini masih menjabat sebagai Anggota DPRD Kota Denpasar dari Partai NasDem.
Dirinya menyebutkan terkait dengan proporsional tertutup ini dulu ada istilah kader jenggot, kader yang hanya punya hubungan baik di atas saja dengan elit-elit politik, dengan ketua partai serta pengurus partai di pusat maupun di daerah. “Proporsional tertutup melahirkan kader jenggot artinya kader yang merasa cukup dekat dengan ketua partai dan jajaran pengurus partai, yang bersangkutan pasti dapat nomor urut bagus,” ungkap Ketua Fraksi NasDem-PSI DPRD Kota Denpasar ini.
Namun berbeda halnya dengan penerapan sistem proporsional terbuka dimana para caleg harus membangun basis massa dan kedekatan emosional dengan masyarakat atau konstituennya. Persoalannya memang ada cost atau biaya politik yang lebih besar, suasananya lebih berat karena memang lebih kompetitif dengan tarung bebas, caleg yang mendapatkan terbanyak itu yang dapat kesempatan terpilih sebagai anggota legislatif.
“Itu sebuah proses yang harusnya kita antisipasi, terutama oleh penyelenggara pemilu dan tentu partai politik mengedepankan seleksi moralitas kadernya. Penggunaan politik uang atau kekuasaan dari partai yang berkuasa, memang tidak bisa dihindari, terkait dengan fasiltas yang dilengkapi regulasi, seperti ditengarai ada bansos dan fasilitas lainnya. Tapi itu proses hukum yang disepakati bersama dan semua partai dapat fasilitas itu,” papar Gung Widiada yang juga panglingsir Puri Peguyangan Denpasar ini.
“Jadi bagi saya tetap proporsional terbuka lebih fair untuk menentukan caleg yang akan duduk sebagai wakil rakyat. Kalau masyarakat dan caleg paham di dalam proses politik cost politiknya tinggi, kalau dia ikut sekedar gengsi-gengsian, uang banyak keluar tapi tidak terpilih, risikonya ada pada dia. Tentu itu akan menjadi lelucon publik dan menjadi catatan. Masyarakat yang cerdas tentu akan melihat mereka terjun ke politik dan sebagai caleg untuk apa kan cost-nya tinggi, sedangkan politik itu tujannya adalah untuk pengabdian,” lanjut Gung Widiada.
Terkait hal itu, Gung Widiada menegaskan NasDem sudah sangat konsisten mengedepankan politik moralitas, dengan komitmen politik tanpa mahar. Hal-hal seperti ini harus menjadi potensi kesepakatan bersama yang tidak akan mendegradasi moral kader, tidak sekedar mengeluarkan uang untuk membeli kursi legislatif atau eksekutif.
“Tentu kita sadari pula politik memang ada cost karena kita harus memilih pemimpin terbaik diantara yang baik-baik, tapi tidak harus jor-joran dan tidak harus menggunakan politik uang,” kata Gung Widiada mengingatkan.
Sekali lagi sebagai sebuah penutup, Gung Widiada menegaskan sistem pemilu proposional terbuka lebih demokratis, lebih fair dan lebih egaliter serta menjadi pilihan terbaik saat ini untuk pendewasaan politik dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. “Proses pendewasaan politik butuh jangka waktu dan tentu rakyat terus memberikan penilaian sesuai dengan kemampuan dan situasi politik yang berkembang,” pungkas Gung Widiada.