Foto: Ilustrasi kesehatan mental.

Jakarta

Pembangunan nasional mesti menyediakan ruang bagi pembangunan nonfisik karena hanya generasi muda yang sehat jasmani dan rohani yang mampu menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan berbangsa di masa depan.

“Pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan bagian penting dalam pembangunan nasional. Kesehatan mental setiap warga negara, terutama remaja, yang diharapkan menjadi generasi penerus yang tangguh dan dapat menjawab tantangan bangsa di masa depan, harus mendapat perhatian serius,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Generasi Muda Indonesia dan Ancaman Kesehatan Mental yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (8/5).

Diskusi yang dimoderatori Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan R Vensya Sitohang (Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI), Ari Fahrial Syam (Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Retno Kumolohadi (Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis Indonesia), dan Iqbal Mochtar (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia-Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah/PDITT), sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula Ahmad Baidhowi AR (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa) sebagai penanggap.

Lestari mengungkapkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat sekitar 14 juta orang di Indonesia mengalami gangguan mental dengan berbagai tingkatan, dari yang ringan hingga berat.

Kenyataannya, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, dalam satu bulan terakhir, di media massa diungkap sejumlah kasus kekerasan (termasuk membunuh) yang dipicu oleh depresi dan stress karena masalah ekonomi, pekerjaan, relasi sosial, dan faktor lainnya.

Rerie yang juga legislator dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu berpendapat, kesehatan mental tidak boleh diabaikan jika kita ingin menghadirkan generasi unggul, menyongsong Indonesia Emas.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong terwujudnya kerja sama dan kepedulian para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah yang bertujuan meningkatkan kesadaran dan mempromosikan kesejahteraan mental, serta mengurangi stigma terkait dengan gangguan mental.

Menurut Rerie, melalui pengembangan sektor pendidikan dengan model pembelajaran aktif yang berorientasi pada peningkatan kemampuan setiap warga negara, diharapkan mampu mengatasi ancaman yang menyasar kesehatan mental generasi muda.

Vensya Sitohang mengungkapkan bahwa untuk mewujudkan kesehatan jiwa masyarakat harus diikuti dengan langkah yang komperhensif mulai dari preventif, promotif, kuratif hingga rehabilitasi dan melibatkan semua pihak.

Langkah tersebut, ujar Vensya, harus mampu dilakukan agar SDM yang ada saat ini dapat mewujudkan target Indonesia Emas pada 2045.

Pada pemetaan beban sepanjang hidup manusia sejak bayi hingga lansia, ungkap Vensya, menempatkan kesehatan mental pada lima besar faktor yang harus diperhatikan untuk mewujudkan kesehatan dalam kehidupan manusia.

Menurutnya, untuk mewujudkan kesehatan mental masyarakat merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab para tenaga kesehatan.

Apalagi, tambah dia, sejumlah laporan bunuh diri dari pihak kepolisian mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada usia produktif. Kondisi itu, tegas Vensya, harus menjadi perhatian bersama.

Selain itu, Vensya mengungkapkan, masyarakat yang didiagnosa mengalami gangguan jiwa harus dipastikan mendapatkan pengobatan yang berkelanjutan.

Namun, ungkapnya, saat ini proses pengobatan gangguan jiwa masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain dalam bentuk stigma yang berkembang di masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa dan terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang mampu menangani gangguan jiwa di Tanah Air.

Dengan kondisi tersebut, tambah Vensya, pola-pola pengobatan yang melibatkan dan berbasis masyarakat sangat membantu upaya untuk mengatasi terjadinya peningkatan gangguan jiwa di masyarakat.

Ari Fahrial Syam berpendapat, kebijakan yang kita miliki untuk mengatasi gangguan kesehatan jiwa dari hulu ke hilir sudah cukup baik. Namun, seringkali dalam implementasi pengobatan gangguan jiwa menghadapi sejumlah kendala, antara lain terkait ketersediaan obat dan tenaga kesehatan yang terbatas.

Sejatinya, ungkap Ari, para dokter umum itu sudah dibekali dengan kompetensi untuk mendiagnosa terkait kesehatan jiwa pasiennya.

Karena setiap terjadi disfungsi pada seseorang, jelas Ari, akan berdampak juga pada perilaku dan psikologis orang itu. Sehingga, tambah dia, muncul gejala klinis yang bermakna dan menimbulkan penderitaan.

Menurut Ari, ketika seseorang sudah dinyatakan mengalami gangguan jiwa itu sudah melalui proses yang panjang, mulai pemeriksaan, deteksi dini diagnosis, hingga terapi. Untuk itu diperlukan kehati-hatian semua pihak sebelum memberi pendapat bahwa seseorang atau sekelompok orang mengalami gangguan jiwa.

Ari berpendapat butuh dukungan semua pihak untuk mewujudkan kesehatan jiwa masyarakat dalam keseharian.

Retno Kumolohadi mengungkapkan kasus gangguan jiwa didominasi oleh usia produktif. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya untuk membantu mengatasi masalah pasien untuk meningkatkan kesehatan mental yang melibatkan lintas sektoral dengan berbagai profesi saling berkoordinasi.

Pasalnya, menurut Retno, banyak faktor mempengaruhi kesehatan jiwa antara lain faktor biologis, psikologis, dan sosial.

Iqbal Mochtar berpendapat saat ini kita menghadapi persoalan yang krusial terkait kesehatan mental masyarakat. Ironisnya, yang mengalami gangguan mental didominasi oleh generasi muda yang secara usia merupakan masa transisi dan dipengaruhi aspek bilogis, fisik, psikologis, sosial, dan budaya.

Berdasarkan catatan WHO pada 2024, ungkap Iqbal, remaja sering kali mengalami gangguan nutrisi, paparan rokok, polusi udara, dan gangguan mental.

Sedangkan berdasarkan catatan National Adolescent Mental Health Survey, tambah dia, terdapat 15,5 juta (35%) remaja mengalami masalah mental dan 2,5 juta (5,5%) mengalami gangguan mental.

Namun, tegas Iqbal, kenyataannya baru 2,6% remaja yang mengakses layanan konseling untuk mengatasi gangguan jiwa yang mereka alami.

Diakui Iqbal, Indonesia belum memiliki data nasional komprehensif yang menunjukkan kondisi kesehatan mental remaja dan kesehatan mental belum menjadi prioritas dalam pembangunan.

Ia mengusulkan program nasional penanggulangan kesehatan mental remaja dan pembuatan regulasi khusus terkait kesehatan mental remaja untuk mengatasi sejumlah hambatan dalam mewujudkan kesehatan mental bagi generasi penerus bangsa.

Ahmad Baidhowi mengaku cemas melihat berbagai masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat saat ini.

Menurutnya, ada adagium As Is The School, So Is The Society dan As Is The School, So Is The State, yang maknanya apa yang terjadi di masyarakat merupakan cermin dari pendidikan di sekolah.

Menurut Baidhowi, bila 265 ribu sekolah yang ada di Indonesia tidak dikelola dengan baik, aspek kesehatan mental akan menjadi masalah yang tidak kunjung usai.

Diakuinya, sejak pendidikan dasar para pelajar mengalami berbagai kecemasan akibat sistem pendidikan yang kurang tepat. Kondisi itu harus segera diatasi.

Upaya memperbaiki proses pendidikan di sekolah, ujar Baidhowi, bisa dimulai dengan pembuatan anggaran pendapatan dan belanja sekolah yang sehat dan transparan, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan sehat.

Selain itu, tambah dia, upaya peningkatan kompetensi tenaga pengajar dan penerapan manajemen konflik berbasis sekolah penting diterapkan sebagai bagian dari penanganan masalah kesehatan mental anak.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *