Foto: Ilustrasi masalah kesehatan mental.
Jakarta
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Nurhadi, menyoroti peningkatan masalah kesehatan mental pada remaja dan anak. Ia pun mendorong agar permasalahan kesehatan mental ditangani secara sistemik.
“Ini harus ditangani secara sistemik. Mulai dari komponen yang terkecil yaitu keluarga, kemudian komponen yang sifatnya lebih luas seperti sekolah, sektor kesehatan pada umumnya hingga ke tataran masyarakat,” ujar Nurhadi dalam diskusi daring bertema ‘Tantangan Kesehatan Mental Anak dan Remaja Indonesia Menuju 2045’ yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (31/7/2024).
Menurut Nurhadi, kesehatan mental masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling diabaikan. Menurut perkiraan WHO, anggaran pemerintah secara global untuk penanganan kesehatan mental hanya sekitar 2%.
“Benar saja, karena di Indonesia sendiri anggaran untuk pembinaan kesehatan jiwa di tahun 2024 ini tidak sampai 1% dari total anggaran Kementerian Kesehatan,” tandasnya.
Peningkatan kasus gangguan kesehatan mental terjadi di berbagai siklus kehidupan, terutama pada usia remaja dan produktif. Hal itu sangat disayangkan karena hampir 25% dari total penduduk Indonesia kini berada dalam kategori remaja.
“Populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting bagi perkembangan Indonesia, terutama untuk meraih bonus demografi dan merealisasikan visi Indonesia Emas 2045,” urainya.
Legislator dari Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar) itu juga menyoroti masih rendahnya fasilitas untuk skrinning kesehatan jiwa. Pada tahun ini (per Mei 2024) ada 8.798 puskesmas yang melaksanakan skrining kesehatan jiwa. Dari yang sebelumnya di 2023 hanya 2.872 puskesmas yang dapat melakukan skrining kesehatan jiwa.
Angka tersebut meningkat kurang lebih empat kali lipat, tetapi tetap saja masih sangat jauh dari target. Baru 12.623.971 penduduk usia >15 tahun dengan risiko masalah kesehatan jiwa yang mendapatkan skrining. Jumlah tersebut baru mencakup 24% dari total target yang seharusnya mendapatkan skrining kesehatan jiwa.
Nurhadi pun mendorong percepatan capaian skrinning kesehatan jiwa untuk mendeteksi lebih cepat atau menentukan apakah seseorang berisiko mengalami gangguan mental atau tidak. Hal itu tidak bisa dianggap remeh karena masalah kesehatan jiwa yang terlambat terdeteksi bisa menyebabkan buruknya kualitas hidup, bahkan bunuh diri.