Foto: Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
JAKARTA
Untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintahan baru, optimisme menjadi modal penting. Namun, kewaspadaan dalam menghadapi tantangan yang datang juga harus dipersiapkan dengan matang.
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan hal ini dalam diskusi daring bertajuk *Prospek Perekonomian Indonesia Tahun 2025*, yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12. Lestari menyebutkan bahwa kepercayaan besar yang diberikan masyarakat kepada kepemimpinan baru adalah sebuah aset berharga untuk mendorong langkah-langkah positif ke depan.
“Kondisi saat ini memberikan kita modal yang baik untuk melangkah maju, meskipun kita harus siap mengantisipasi berbagai tantangan yang akan dihadapi,” ujarnya dalam pembukaan diskusi yang juga menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Ni Made Sukartini, Ketua Program Studi Magister Ekonomi Kesehatan Universitas Airlangga, dan David Sumual, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia.
Lestari, yang akrab disapa Rerie, mengingatkan bahwa Presiden Prabowo dalam pidato perdana pada 20 Oktober lalu menekankan empat poin utama dalam pembangunan ekonomi nasional, yaitu swasembada pangan, swasembada energi, pembenahan subsidi, dan hilirisasi. “Pencapaian program-program ini diprediksi dapat membawa perbaikan ekonomi di masa mendatang,” ujarnya, sembari mengungkapkan optimisme yang didasari oleh prediksi Bank Indonesia yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dapat mencapai 4,8%-5,6%.
Namun, Rerie mengingatkan agar optimisme ini tidak melupakan perlunya langkah-langkah antisipasi yang terus diperbarui untuk menghadapi kemungkinan kendala yang muncul. “Kita harus berani optimis, tetapi juga realistis dalam merancang langkah-langkah yang antisipatif,” tambahnya.
**Tantangan Global dan Kebutuhan Investasi**
David Sumual, dalam kesempatan yang sama, mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia saat ini masih sangat dipengaruhi oleh dinamika global, seperti pemilu Amerika Serikat dan penurunan ekonomi Tiongkok. “Saat ini dunia masih penuh ketidakpastian, termasuk utang Amerika yang melambung hingga 120% dari PDB-nya dan ketegangan geopolitik di beberapa kawasan,” kata David.
Menurut David, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5%, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan tabungan domestik. “Untuk bisa tumbuh 6%-7%, kita harus mampu menyerap investasi asing jauh lebih besar,” tegasnya. Namun, ia menyesalkan bahwa Indonesia saat ini justru mengalami deindustrialisasi, sementara negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia justru menikmati aliran investasi asing yang signifikan.
**Pentingnya Kebijakan yang Tepat Sasaran**
Ni Made Sukartini menambahkan bahwa upaya pemerintah untuk mencapai target-target ekonomi nasional seringkali berbeda dengan prioritas ekonomi individu dan perusahaan. “Kebijakan pemerintah yang fokus pada belanja negara dapat menyebabkan defisit anggaran, yang pada gilirannya mempengaruhi daya beli masyarakat,” ujar Ni Made.
Terkait dengan program swasembada pangan, ia menyarankan agar ekstensifikasi pertanian di luar Jawa perlu disiapkan dengan hati-hati, terutama dalam hal kesiapan tenaga kerja yang kompeten. “Kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu, di mana transmigrasi dari Jawa ke luar Jawa untuk ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan pembinaan yang matang,” katanya.
**Politik Anggaran dan Keterampilan Tenaga Kerja**
Shohibul Imam, anggota Komisi XI DPR RI, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi global saat ini melambat, dan Indonesia perlu memanfaatkan momen ini untuk memaksimalkan potensi domestiknya. Ia menilai bahwa pemerintahan baru memiliki optimisme besar dalam mewujudkan program-program ekonomi kerakyatan, termasuk penghapusan utang macet bagi UMKM.
Sementara itu, Sonny Y. Soeharso, Wakil Sekretaris Dewan Pakar Partai NasDem, mengingatkan agar prioritas program dan postur anggaran harus selaras. “Politik anggaran yang tepat sangat penting agar kebijakan ekonomi tidak hanya menghasilkan pertumbuhan yang stagnan, sekitar 5%, tetapi mampu menciptakan akselerasi yang lebih tinggi,” ujarnya.
**Revisi Kebijakan untuk Menarik Investasi**
Muchamad Ghufron, Deputy Editor in Chief CNBC Indonesia, juga mengkritisi kurangnya kemampuan Indonesia dalam menarik investor asing, terutama di sektor teknologi. “Banyak investor memilih negara tetangga seperti Malaysia karena kesulitan dalam memperoleh izin investasi dan pembebasan lahan di Indonesia,” ujar Ghufron. Ia mendorong agar pemerintah segera merevisi peraturan yang menghambat aliran investasi.
Saur Hutabarat, wartawan senior, menyarankan agar Indonesia belajar dari Singapura, yang sangat sukses menarik investor dengan kebijakan yang mendukung. “Di Singapura, investor diperlakukan sama, baik investor lokal maupun asing. Di Indonesia, kita masih diskriminatif terhadap investor asing,” tegasnya.
**Kesimpulan: Langkah Strategis untuk Mencapai Target Ekonomi**
Dengan optimisme yang tinggi namun tetap memperhatikan kewaspadaan, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi ekonomi domestik dan menarik investasi asing. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pemerintah harus melibatkan seluruh sektor dan memperbaiki kebijakan yang menghambat pertumbuhan. Langkah-langkah strategis yang tepat, seperti peningkatan keterampilan tenaga kerja dan revisi kebijakan investasi, akan menjadi kunci untuk mencapai target ekonomi yang lebih tinggi di masa depan.