Foto: Ilustrasi RUU PPRT.

Jakarta

Dalam riuh rendah gedung parlemen yang megah, di tengah deretan kursi-kursi empuk dan pidato-pidato berapi-api, ada satu hal yang terus diabaikan: nasib para Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang senyap, tapi penuh dedikasi. Rancangan undang-undang yang mengangkat harkat dan martabat mereka yakni RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)berkembang bak mimpi yang tertunda.

Pada sebuah diskusi yang dihelat secara daring oleh Forum Diskusi Denpasar 12, seorang tokoh wanita tangguh, Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dengan nada penuh harap, menyuarakan keprihatinannya.

“Sidang paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 27 September mendatang harus menjadi momentum bagi kita semua untuk mengesahkan RUU PPRT ini menjadi undang-undang,” tegas Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Bedah RUU PPRT: Perlindungan untuk Pemberi dan Penerima Kerja – dari Apriori ke Afirmasi DPR RI yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (14/8/2024).

Oplus_131072

Dalam kata-katanya, tersirat pesan mendalam tentang bagaimana perlindungan bagi PRT adalah tentang menghargai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya. Di hadapan para narasumber yang terdiri dari ahli hukum, akademisi, dan peneliti, diskusi itu menjadi ruang untuk membedah dan memahami lebih dalam esensi RUU PPRT.

Willy Aditya, Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, mengungkapkan betapa kuatnya hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses legislasi ini. Meskipun RUU PPRT lebih banyak menerapkan asas kekeluargaan dan kemanusiaan, perjalanan untuk menjadikannya undang-undang masih terjal dan penuh liku.

“Yang kita butuhkan adalah kemauan politik yang kuat dari pimpinan DPR, khususnya Ketua DPR RI,” tegas Willy, dengan sorot mata yang penuh tekad. Namun, hingga saat ini, RUU PPRT belum juga masuk dalam pembahasan tingkat I, seolah tersandera oleh dinamika politik yang tak berpihak pada mereka yang tak bersuara.

Eva Kusuma Sundari, Direktur Institute Sarinah, dengan getir menceritakan bagaimana kelompok yang dulunya mendukung RUU PPRT kini berbalik menolak. Ia mengaku, segala cara telah ditempuh, mulai dari lobi personal hingga doa kepada langit, namun jalan menuju pengesahan undang-undang ini seakan tertutup rapat.

Dalam pandangan Airlangga Pribadi Kusman, dosen dari Universitas Airlangga, kebuntuan ini mencerminkan ketidaktahuan politik yang menyelimuti para pemimpin. Mereka yang menolak, katanya, takut akan kesetaraan. Mereka takut kehilangan posisi dominan, padahal hukum seharusnya berlaku adil bagi setiap warga negara.

Begitu pula pendapat Rahmat Syafaat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang menilai bahwa banyaknya anggota dewan yang berasal dari kalangan pengusaha menjadi salah satu sebab mengapa RUU ini terhambat. Ketidakadilan terhadap buruh di industri, menurutnya, adalah cerminan dari ketidakadilan yang sama yang dialami oleh para PRT.

Diskusi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk mengangkat derajat para PRT masih jauh dari selesai. Butuh keberanian, kemauan politik, dan dukungan masyarakat sipil untuk menggerakkan perubahan ini. Karena pada akhirnya, perjuangan ini adalah tentang menghargai kerja keras manusia, tentang mewujudkan kesetaraan yang sesungguhnya, dan tentang menyadari bahwa setiap manusia berhak diperlakukan dengan martabat dan hormat.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *