Foto: Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat.

Jakarta

Kegiatan sosial membutuhkan kepastian hukum untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, keberlangsungan kegiatan, perlindungan hukum dan manfaat yang lebih luas.

“Budaya gotong-royong dan musyawarah menjadi fondasi kepedulian terhadap sesama dan merupakan bagian integral dalam kehidupan masyarakat Indonesia,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Mewadahi Kedermawanan Sosial (Filantropi) dalam Bingkai Hukum, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (11/12/2024).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Laode Taufik (Pelaksana Tugas Direktur Potensi dan Sumber Daya Sosial, Kementerian Sosial), Hamid Abidin (Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas), dan Sita Supomo (Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan/IKA) sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula Atang Irawan (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan) sebagai penanggap.

Pada November lalu, ujar Lestari, Charities Aid Foundation (CAF) mempublikasikan laporan tahunan tentang World Giving Index 2024 atau indeks kedermawanan dunia.

Dalam publikasi tersebut, kata Rerie, sapaan akrab Lestari, untuk ketujuh kalinya secara beruntun Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan.

Berdasarkan survei terhadap 145.000 responden di 142 negara, Indonesia mencapai skor Indeks Kedermawanan Dunia sebesar 74 poin, melampaui Kenya (63 poin) dan Singapura (61 poin).

Menurut Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, indeks kedermawanan sosial yang tinggi melekat dengan konteks sosial budaya suatu negara.

Permasalahan muncul, ungkap Rerie, pelaksanaan sejumlah bentuk kepedulian sosial itu kerap terbentur belum adanya peraturan yang mengakomodasinya.

Berhadapan dengan berbagai tantangan itu, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, filantropi memerlukan bingkai hukum yang tepat untuk mewujudkan kepedulian sosial masyarakat.

Laode Taufik mengakui peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Indonesia cepat sekali direspons oleh masyarakat.

Peraturan terkait pengumpulan uang dan barang dari masyarakat, tambah Laode, sejatinya sudah ada dan diatur sejak lama, misalnya pada UU No.9/ 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

Hanya saja dinamika masyarakat dan perkembangan teknologi yang cepat, jelas Laode, perlu diantisipasi dengan kebijakan yang mampu mengakomodasi dinamika itu.

Menurut Laode, upaya pengumpulan uang atau barang harus memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan.

Sebagai misal, jelas dia, terkait tujuan pengumpulan uang atau barang antara lain untuk kepentingan kesejahteraan sosial, bantuan terhadap pengembangan kebudayaan, dan perlindungan satwa.

Selain itu, tambahnya, penggalangan dana juga harus dilakukan oleh lembaga yang berbadan hukum, perizinan pengumpulan uang dan barang pun diatur secara berjenjang sesuai wilayah pengumpulannya.

Sita Supomo menilai untuk menjadi penyelenggara pengumpulan uang dan barang sulit untuk mengurus perizinannya. Pasalnya, tidak semua lembaga pengumpul dana atau barang memiliki SDM yang memahami berbagai aturan yang berlaku.

Padahal lembaga-lembaga di Indonesia yang mengadvokasi masyarakat terkait lingkungan dan hukum, tambah dia, mendapatkan pendanaan dari lembaga-lembaga internasional.

Sejumlah peraturan pengumpulan uang dan barang yang membatasi masa berlaku, besaran, dan perizinan yang berjenjang, jelas Sita, menyebabkan upaya masyarakat sipil untuk membiayai berbagai kegiatan advokasi terhadap sejumlah kebijakan, semakin terhambat keberlanjutannya.

“Apakah lembaga swadaya masyarakat yang menggalang dana publik untuk mengadvokasi kebijakan lingkungan, seperti pembukaan hutan untuk lahan tanaman pangan yang merupakan program pemerintah, itu melanggar hukum?” tanya Sita.

Peraturan terkait pengumpulan uang dan barang yang ada saat ini, menurut Sita, terkesan hanya ditujukan untuk penggalangan dalam periode yang terbatas.

Hamid Abidin mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini sedang berjuang untuk merevisi UU No. 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang dinilai menghambat kegiatan filantropi atau kedermawanan.

Filantropi itu, jelas Hamid, bukan semata cara pengumpulannya, tetapi juga tujuannya seperti advokasi penegakan hukum, lingkungan, dan sejumlah sektor lain.

Menurut Hamid, filantropi bisa menjadi salah satu instrumen pembiayaan terkait sejumlah program pembangunan seperti SDGs, tetapi sangat disayangkan regulasi yang ada tidak mendukung.

Secara umum, jelas Hamid, perkembangan filantropi didukung sejumlah hal yaitu ajaran agama, kredibilitas lembaga filantropi, dan regulasi terkait filantropi.

Diakui Hamid, di Indonesia regulasi masih menjadi masalah dalam proses pengembangan filantropi, sehingga perlu upaya untuk merevisi peraturan perundangan yang ada.

Atang Irawan juga mengakui ada problem besar dalam konteks produk legislasi terkait pengumpulan uang dan barang yang tertuang pada UU No.9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

Menurut Atang, banyak terjadi perubahan cara pandang dalam sejumlah kebijakan terkait objek pengumpulan uang dan barang seperti pengumpulan melalui instrumen digital dan problem birokrasi.

Proses perizinan penggalangan dana, ujarnya, memerlukan waktu yang cukup lama, sementara periode waktu penggalangan dana yang diizinkan sangat terbatas.

Atang menilai, gagasan untuk merevisi perundang-undangan yang ada merupakan upaya yang tepat, karena dalam konteks pengumpulan uang dan barang terkendala persoalan kebijakan.

Wartawan senior Saur Hutabarat menilai kerumitan dan keruwetan pada upaya pengumpulan uang dan barang bebannya pada regulasi yang ada, dalam hal ini UU No. 9/ 1961 yang tidak dapat menjawab persoalan yang ada saat ini.

Pasalnya, ujar Saur, undang-undang tersebut diproduksi pada zaman demokrasi terpimpin di masa lalu yang tidak memerhatikan hak-hak masyarakat sipil.

Jadi, tegas Saur, beban ditujukan kepada pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan DPR. Jadi, tambah dia, beban persoalan bukan pada Kementerian Sosial.

Menurut Saur, ada upaya yang bisa dilaksanakan lebih cepat terkait perizinan pengumpulan uang dan barang. Tetapi kalau dimintakan perubahannya pada tingkat peraturan pemerintah, jelasnya, itu kewenangan Presiden, bukan Kementerian Sosial.

Saur berpendapat, filantropi bukan saja penting secara kemanusiaan, tetapi juga bisa membantu negara. Karena itu, tegas Saur, semestinya revisi UU No. 9/1961 dapat diusulkan untuk masuk dalam agenda prolegnas.

“Kita tidak menjawab persoalan kemanusiaan karena dihambat ketertinggalan perundang-undangan, karena undang-undang itu tidak untuk menjawab masa lalu, tetapi menjawab masa depan,” tegas Saur.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *