Oplus_131072

Foto: Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat.

Jakarta

Wujudkan kepekaan sosial masyarakat atas sejumlah risiko bencana alam yang terjadi sebagai bagian upaya melindungi setiap warga negara dari dampak perubahan iklim.

“Kondisi anomali iklim yang terjadi dewasa ini mengingatkan tentang ancaman fenomena perubahan iklim semakin nyata dan kita dituntut memperhatikan kelestarian lingkungan hidup,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema ‘Mitigasi Dampak Ancaman Nyata Banjir dan Udara Panas di Indonesia’ yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/5/2024).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Muchamad Saparis Soedarjanto, (Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan DAS, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI), Berton Suar Pelita Panjaitan (Direktur Mitigasi Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB),
Eko Prasetyo (Kepala Pusat Meteorologi Maritim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika/BMKG) dan Didi Setiadi (Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional /BRIN) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Djati Mardiatno (Staf Ahli Pusat Studi Bencana Alam, Universitas Gadjah Mada/UGM) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, dampak perubahan iklim saat ini berada pada tingkat mengkhawatirkan karena sumber daya air semakin langka, bencana alam berulang, kekeringan, kegagalan panen, kebakaran lahan dan fenomena lainnya yang tidak dapat dihindari.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, melaporkan bahwa terdapat 507 kejadian bencana banjir yang terjadi di Indonesia sejak 1 Januari-14 Mei 2024.

Salah satu upaya mitigasi bencana yang diperlukan secara berkelanjutan, menurut Rerie yang juga legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu,
adalah sosialisasi dan edukasi.

Bagaimana, tegasnya, kita bisa hidup aman dan nyaman berdampingan dengan alam, sehingga pelestarian lingkungan hidup juga harus diperluas untuk menekan dampak bencana.

Seluruh elemen masyarakat, tambah dia, harus menyadari bahwa sebagai negara tropis, Indonesia selalu menghadapi risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan.

Karena itu, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, peran three sector colaboration yaitu para pemangku kepentingan, dunia usaha, dan seluruh elemen masyarakat sampai tingkatan yang paling dasar, harus mampu secara konsisten mewujudkan kepekaan sosial terhadap berbagai risiko yang muncul dari dampak perubahan iklim yang terjadi.

Kepekaan sosial masyarakat yang tumbuh untuk menyikapi berbagai potensi risiko bencana alam itu, ujar Rerie, merupakan bagian dari upaya negara dalam melindungi setiap anak bangsa dari setiap ancaman yang datang.

Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan DAS, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Muchamad Saparis Soedarjanto mengungkapkan, di tengah kemewahan keragaman vegetasi dan lingkungan yang kita miliki ada sejumlah potensi perubahan landscape dan bentang alam akibat perubahan iklim.

Selain itu, ujar Saparis, indeks bencana alam Indonesia begitu tinggi yang antara lain dipicu laju sedimentasi yang juga tinggi di sejumlah aliran sungai hingga mencapai 250 ton/Km2/tahun.

Dampak lainnya, tegas dia, gangguan lingkungan di kawasan hulu sungai juga menyebabkan sejumlah daerah di tanah air mengalami kekurangan pasokan air bersih. Padahal, tambah Saparis, Indonesia memiliki curah hujan tinggi.

Perbaikan lingkungan hulu sungai, tambah dia, harus segera dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air bersih, sekaligus meningkatkan kualitasnya.

Sejumlah bencana banjir yang terjadi di Demak, Jawa Tengah dan Sumatra Barat, menurut Saparis, harus diantisipasi dengan berbagai skema adaptasi yang berkelanjutan.

Direktur Mitigasi Bencana BNPB, Berton Suar Pelita Panjaitan mengungkapkan bencana hidrometeorologi sudah menjadi ancaman di berbagai daerah di Indonesia.

Dampak perubahan iklim, ujar Berton, harus diwaspadai seperti terjadinya cuaca ekstrem hingga angin puting beliung.

Karena itu, tegas dia, mitigasi menjadi penting untuk mengurangi dan mencegah dampak dari perubahan iklim tersebut.

Upaya mitigasi, menurut Berton, bisa dalam bentuk mitigasi struktural, antara lain dalam bentuk perbaikan daerah aliran sungai dan mitigasi non-struktural yang antara lain harus diikuti dengan pelibatan masyarakat dalam mengupayakan kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah di aliran sungai dan penghijauan di lahan-lahan kritis.

Selain itu, tambah dia, upaya lain yang harus dilakukan adalah mengedukasi masyarakat sebagai bagian langkah untuk mengurangi risiko yang bisa berdampak pada kehidupan keseharian.

Menurut Berton, pendidikan aman bencana harus dilakukan melalui berbagai kajian di sekolah-sekolah sampai aplikasinya di lapangan.

Dia juga menyarankan, pemerintah daerah segera menyusun rencana kontigensi bencana banjir di wilayah kewenangannya masing-masing, terutama di kawasan-kawasan wisata.

Berton menyayangkan, ketersediaan informasi cuaca selama ini belum banyak dimanfaatkan dalam bentuk aksi pencegahan di lapangan.

Dia menyarankan pembentukan tim siaga bencana di setiap desa harus dihidupkan kembali seperti halnya siskamling di masa lalu, dalam upaya mengantisipasi potensi bencana yang terjadi.

Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG, Eko Prasetyo mengungkapkan beberapa pekan terakhir terjadi dua hal menarik yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, terjadi banjir akibat curah hujan yang tinggi, tetapi pada saat bersamaan juga muncul udara panas yang luar biasa.

Menurut Eko, posisi Indonesia yang berada di sepanjang khatulistiwa menyebabkan pola musim yang tidak kenal kemarau di beberapa daerah.

Sehingga, tambah dia, masyarakat yang berada di dataran tinggi atau dataran rendah harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap sejumlah dampak perubahan iklim.

Karena, tambah dia, peringatan dini BMKG punya waktu yang terbatas untuk direspons, sehingga masyarakat selalu terlambat untuk menghindar dari ancaman bencana itu.

Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Didi Setiadi berpendapat Indonesia merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi angin kencang, rob, hingga udara panas.

Sedangkan tingkat risiko yang ditimbulkan, ujar Didi, sangat bergantung pada lokasi dan waktu bencana itu terjadi.

Diakui Didi, dinamika atmosfer di Indonesia sangat dipengaruhi konveksi dan gelombang atmosfer yang saling berinteraksi, sehingga menghasilkan dinamika yang kompleks dan sulit diprediksi.

Menurut Didi, pemanasan global menyebabkan kenaikan suhu rata-rata atmosfer mendorong peningkatan curah hujan dan angin badai yang lebih sering.

Kondisi itu, tambah dia, juga menyebabkan air menguap lebih cepat dari tanah, sehingga memicu kekerasan yang lebih cepat.

Staf Ahli Pusat Studi Bencana Alam UGM, Djati Mardiatno berpendapat secara umum Indonesia merupakan wilayah rawan terhadap bencana hidrometeorologi.

Sehingga, ujar Djati, masyarakat harus mengenal dengan baik karakter lingkungan tempat tinggal mereka.

Menurut dia, informasi komprehensif dan mudah dipahami masyarakat tentang bencana hidrometeorologi penting untuk diwujudkan, sehingga mampu meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap potensi ancaman bencana yang dihadapi.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *