Foto: Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat.
Jakarta
Kesehatan mental anak dan remaja harus diwujudkan melalui berbagai upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat, demi masa depan anak bangsa yang lebih baik.
“Kesehatan mental itu menunjang kesehatan manusia secara menyeluruh. Karena dengan mental yang sehat orang mampu mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuan mereka, belajar dengan baik, dan berkontribusi pada komunitas mereka,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema Tantangan Kesehatan Mental Anak dan Remaja Indonesia Menuju 2045, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (31/7).
Diskusi yang dimoderatori Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Nova Riyanti Yusuf (Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzoeki Mahdi, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI) Tjut Rifameutia (Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia), dan Vera Itabiliana Hadiwidjojo (Psikolog Anak dan Remaja) sebagai narasumber. Hadir pula Nurhadi (Anggota Komisi IX DPR RI) sebagai penanggap.
Tidak bisa dipungkiri, jelas Lestari, masalah kesehatan mental sudah mendunia. Berdasarkan catatan situs Our World Data, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, diperkirakan satu dari tiga perempuan dan satu dari lima laki-laki akan mengalami depresi berat dalam hidupnya.
“Bagaimana bangsa kita mampu menyiapkan diri menangani kondisi tersebut dengan langkah nyata, itu menjadi tantangan kita saat ini,” ujar Rerie.
Menurut Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI itu, untuk mencegah bertambahnya prevalensi gangguan mental, diperlukan kemampuan menciptakan struktur dan sistem sosial yang menunjang program peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mengingatkan, pada 2045 para remaja saat ini akan berada pada puncak kepemimpinan nasional. Bila tidak dipersiapkan kesehatan secara fisik dan mental maka akan sulit mewujudkan Indonesia Emas.
Menurut Rerie, Indonesia Emas 2045 harus disambut dengan kesiapan mental anak bangsa agar mampu menerima tongkat estafet kepemimpinan untuk melanjutkan proses pembangunan nasional yang lebih baik.
Nova Riyanti Yusuf mengungkapkan, sebagai pusat layanan kesehatan jiwa nasional, lembaga yang dipimpinnya berperan sebagai pengampu penanganan kesehatan mental masyarakat di Tanah Air.
Menurut Nova, pada kasus gangguan kesehatan mental selalu ada depresi yang menyertai aksi bunuh diri, sehingga sejatinya aksi bunuh diri bisa dicegah bila ada deteksi dini terhadap kondisi kesehatan mental masyarakat.
Usia remaja, tambah dia, merupakan kelompok yang berisiko terpapar gangguan mental, karena pada usia tersebut masih senang mengambil risiko dan merasa mampu kendalikan segalanya.
Padahal, ujar Nova, usia remaja saat ini adalah para calon pemimpin di masa depan untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
Nova mengungkapkan untuk mencegah tindakan menyakiti diri sendiri dan bunuh diri yang merupakan bagian dari kasus gangguan mental di masyarakat, perlu dibangun sistem surveilance yang memadai di Tanah Air.
Upaya pencegahan gangguan kesehatan mental di masyarakat, tegas dia, perlu melibatkan pihak di luar keluarga dan instansi kesehatan, seperti komunitas dan lingkungan masyarakat.
Tjut Rifameutia berpendapat, survei kesehatan mental masyarakat sangat penting untuk dilakukan guna mendapatkan potret kesiapan mental para calon orangtua di masa depan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survei tersebut, tambah dia, para pemangku kebijakan dapat mempersiapkan langkah-langkah antisipatif untuk mencegah potensi gangguan kesehatan mental yang muncul. Apalagi, 20% populasi di Indonesia berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental.
“Pengalaman sulit di masa anak-anak akan sangat memengaruhi kesehatan mental di masa dewasa,” tegas Tjut Rifameutia.
Oleh karena itu, tegas dia, sebuah keluarga perlu mengetahui dan memahami peran dan fungsi setiap anggota keluarganya, termasuk peran bapak dan ibu pada keluarga itu.
“Karena pendidikan keluarga atau parenting itu sangat penting dalam membangun kesehatan mental masyarakat,” ujarnya.
Vera Itabiliana Hadiwidjojo berpendapat, tantangan kesehatan mental anak dan remaja di Indonesia antara lain muncul karena ketidaksiapan orangtua dalam mendidik anak.
Menurut Vera, orangtua sering kali menyerahkan urusan pendidikan anak kepada orang lain, sehingga tumbuh kembang anak rawan terganggu.
Pasalnya, jelas Vera, peran aktif orangtua baik secara fisik maupun emosional sangat penting dan mempengaruhi perkembangan kesehatan mental anak.
Selain itu, tambah dia, keberadaan media sosial dan internet saat ini juga sangat memengaruhi kesehatan mental anak.
Kegemaran menggunakan media sosial dan game online, ujar Vera, berpotensi mengganggu pola tidur, pola makan, dan olahraga anak yang berujung pada gangguan kesehatan mental.
Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengungkapkan, gangguan kesehatan mental kerap diawali dengan depresi.
Pada skala global, tambah dia, dampak gangguan kesehatan mental masyarakat menimbulkan kerugian hingga US$1 triliun.
Berdasarkan kenyataan itu, Nurhadi menegaskan, kesehatan mental masyarakat harus segera dimitigasi. Penanganannya harus dilakukan secara sistematis mulai dari lingkungan keluarga.
“Peran ibu sangat penting untuk memberikan respons cepat terhadap anak yang mengalami gangguan kesehatan mental,” tegasnya.
Menurut Nurhadi, isu kesehatan mental di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang serius, bila dilihat dari alokasi anggaran yang masih di bawah 1% dari alokasi anggaran kesehatan secara nasional.
Ia menilai bila kesehatan mental masyarakat tidak dikelola atau ditangani dengan baik akan memengaruhi kesehatan setiap anak bangsa secara luas.
Wartawan senior Saur Hutabarat mengingatkan agar peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus mendapat perhatian serius, karena dapat memengaruhi kesehatan mental anggota keluarga.
Saur berpendapat, di masa depan stres akan jauh lebih berat di tengah ekosistem persaingan yang lebih keras. Karena itu, tambah dia, cara-cara mengelola kecemasan atau stres harus menjadi bagian penting dalam pendidikan di rumah tangga.
Menurut Saur, penting untuk memberikan pemahaman bahwa hidup ini bukan masa lalu. Bahkan hidup ini bukan masa depan. Sehingga, pandangan tentang now and here (sekarang dan di sini) adalah pemahaman yang sangat penting untuk ditanamkan kepada anak dan remaja.
“Karena stigma itu berpangkal dari masa lalu dan kecemasan itu berbasiskan kerisauan tentang masa depan. Sehingga perlu ditanamkan bahwa hidup ini adalah urusan hari ini dan sekarang,” ujar Saur.
Menurut Saur, orang perlu menjadi diri sendiri dengan berkekuatan diri sendiri dan itu berpangkal dari melihat hidup adalah urusan hari ini dan sekarang.
Karena itu, tegas dia, orangtua harus lebih berani memberi kesempatan kepada anaknya menjadi diri sendiri untuk menghadapi keadaan yang jauh lebih rumit di masa depan. (*)