Foto: Ilustrasi Bantuan Sosial (Bansos)
Jakarta
Di balik pintu-pintu rumah yang ramai dan sibuk, ada sosok-sosok tak terlihat yang bekerja tanpa lelah, memberi tawa dan kenyamanan bagi banyak keluarga. Mereka adalah pekerja rumah tangga (PRT), kelompok yang sering kali terpinggirkan dari pandangan, tetapi begitu vital dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di tengah upaya negara untuk mengentaskan kemiskinan melalui bantuan sosial (bansos), nasib mereka sering kali terabaikan. Sejumlah aturan yang tidak jelas dan data yang tidak valid menjadi penghalang bagi para PRT untuk mendapatkan hak-hak mereka yang seharusnya.
Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR RI, dalam sebuah diskusi daring bertema “Bedah RUU PPRT: Mengatasi Ketidakadilan Akses PRT Terhadap Bansos,” dengan penuh empati mengungkapkan bahwa PRT kerap dianggap tidak layak menerima bansos. “Pekerja rumah tangga, dengan statusnya sebagai pekerja tanpa kontrak formal, sering kali tidak diakui secara hukum, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan bantuan sosial,” ujarnya. Ironisnya, para PRT yang bekerja dengan waktu tak menentu ini justru berada di garis depan kelompok rentan yang paling membutuhkan perlindungan.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Anggiasari Puji Aryatie itu, hadir pula beberapa tokoh penting seperti Sri Wulan, Anggota Komisi VIII DPR RI, dan Mira Riyati Kurniasih, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial RI. Mereka sepakat bahwa masalah ini tidak hanya tentang kurangnya pengakuan terhadap PRT, tetapi juga tentang kesulitan mereka dalam mengakses berbagai bentuk bansos yang seharusnya menjadi hak mereka.
Sri Wulan, dengan nada serius namun penuh keprihatinan, menjelaskan bahwa PRT sering kali terperangkap dalam ketidakpastian ekonomi. Mereka mendapatkan upah yang tidak layak dan bekerja dalam waktu yang tak terbatas. Ketika gejolak ekonomi datang, kelompok ini adalah yang paling cepat terdampak. Namun sayangnya, birokrasi dan kurangnya informasi menjadi tembok penghalang bagi mereka untuk menerima bansos. “Diskriminasi terhadap profesi PRT membuat mereka terpinggirkan dari akses yang seharusnya mereka dapatkan,” kata Sri dengan tegas.
Mira Riyati dari Kementerian Sosial pun menambahkan, penyaluran bansos saat ini masih berdasarkan undang-undang yang belum sepenuhnya mengakomodasi PRT sebagai kelompok rentan. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam mengusulkan siapa saja yang berhak menerima bansos, namun sering kali PRT luput dari perhatian karena tidak tercatat secara formal.
“Peran pemerintah daerah sangat penting. Mereka yang harus memahami kondisi sosial masyarakatnya, namun sayangnya, para PRT sering kali tidak diakui dalam sistem tersebut,” ujar Mira, mengungkapkan realitas pahit yang dihadapi PRT.
Adyawarman, Asisten Deputi Penanggulangan Kemiskinan dari Sekretariat Wakil Presiden, juga mengakui bahwa penurunan angka kemiskinan di Indonesia berjalan lambat. Dalam angka, kemiskinan tercatat 9,03% dari populasi, atau sekitar 25,2 juta jiwa, sementara kemiskinan ekstrem mencapai 0,83%. Namun, bagi PRT yang berada di titik rentan, guncangan ekonomi bisa dengan cepat menjatuhkan mereka ke jurang kemiskinan.
Di lapangan, kisah para PRT seperti yang disampaikan oleh Yuni Sri Rahayu, aktivis Serikat Pekerja Rumah Tangga, menggambarkan situasi yang penuh tantangan. Di Jakarta, selama masa pandemi, banyak PRT yang kesulitan mendapatkan bansos karena birokrasi yang kaku dan kurangnya dukungan dari pemerintah daerah. “Akses bansos untuk PRT seharusnya dibuka lebar, tapi kenyataannya, bahkan yang sudah tercatat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pun bisa kehilangan hak mereka,” cerita Yuni dengan nada getir.
Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, mengungkapkan bahwa bantuan sosial yang diberikan pemerintah memang banyak, namun sayangnya, tidak terintegrasi dengan baik. PRT, yang sering kali bekerja di luar daerah asalnya, sulit didata oleh pemerintah daerah tempat mereka bekerja. Mike juga menyoroti kurangnya partisipasi dari pemberi kerja dalam melaporkan keberadaan PRT, yang bisa membantu memudahkan proses pendataan.
Masalah ini tak hanya soal kebijakan, tetapi juga tentang rasa kemanusiaan. Lestari Moerdijat menutup diskusi dengan penuh harapan agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera disahkan menjadi undang-undang, untuk memberikan pengakuan formal terhadap para PRT. “Mereka berhak atas kehidupan yang lebih baik, atas jaminan sosial, dan atas pengakuan dari negara,” ujarnya penuh keyakinan.
Di balik kisah-kisah ini, tergambar wajah-wajah PRT yang terus bekerja keras dalam senyap, tetapi dengan hati penuh harapan. Harapan agar suatu hari, mereka tidak lagi menjadi kelompok yang terlupakan, melainkan menjadi bagian dari masyarakat yang sepenuhnya dihargai dan dilindungi.