Foto: Ilustrasi rupiah melemah.

Jakarta

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Charles Meikyansah, meminta pemerintah melakukan mitigasi dengan cermat atas terus melemahnya nilai tukar rupiah. Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral juga diharapkan tidak tinggal diam.

“Langkah yang harus segera dibuat di awal adalah melakukan mitigasi dengan cermat. Setiap kebijakan harus didasarkan pada bukti-bukti (evidence based policy),” ujar Charles dalam keterangan tertulis, Selasa (25/6/2024).

Pemerintah, tegas Charles, harus berhati-hati karena jika salah langkah bisa berdampak terhadap ekonomi nasional. Pemerintah harus melihat dari dua sisi, baik fiskal maupun moneter untuk melakukan langkah antisipasi sekaligus perbaikan.

Selain itu, tambah Charles, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diharapkan tidak membiarkan rupiah dalam kondisi yang terus melemah atau bergerak liar (volatile).

“Secara teknis, bisa dilakukan kebijakan intervensi misalnya di pasar non-deliverable forward (NDF), pasar spot, dan pasar surat berharga negara (SBN),” imbuh Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur IV (Lumajang dan Jember) itu.

Charles menambahkan, selain itu juga bisa dilakukan dengan cara kebijakan suku bunga acuan dengan harapan akan memicu apresiasi. Namun hal ini juga bisa memicu depresiasi yang makin dalam.

“Cara lainnya yang dapat ditempuh dengan hati-hati tentunya adalah intervensi pasar secara langsung. Kita juga harus mengandalkan cadangan devisa yang saat ini dimiliki untuk bisa menstabilkan kondisi yang ada,” tandasnya.

Dia menambahkan penyebab terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah di antaranya adalah sentimen global seperti masih kuatnya perekonomian Amerika Serikat yang diduga banyak pelaku pasar masih akan sulit menurunkan suku bunga acuan.

“Hal lainnya misalnya, adalah masih terus memanasnya konflik di Timur Tengah. Kita berharap konflik Timur Tengah segera ada jalan keluar. Kemanusiaan harus di atas segalanya,” ujarnya.

Sedangkan faktor dalam negeri, kata Charles, misalnya pelemahan current account, terutama di perdagangan barang atau ekspor impor barang, yang surplusnya jauh mengecil dan sangat signifikan dalam beberapa tahun setelah pandemi Covid-19. Hal Itu yang menjadi salah satu sinyal kondisi makro ekonomi yang kurang baik, sehingga mendorong pelemahan rupiah.

“Selain itu, ada sentimen yang mungkin dinilai negatif oleh market (pasar), karena adanya isu Presiden Prabowo Subianto akan menaikkan rasio utang hingga 50 persen dari PDB untuk memenuhi janji kampanye, meskipun tentu hal ini masih dugaan,” urainya.

Charles berpendapat, dampak dari melemahnya rupiah atas Dolar AS cukup membahayakan bagi perekonomian nasional. Pertama, ada kekhawatiran adanya pemborosan dari sisi supply, secara sederhana menyebabkan terjadinya cost overrun, utamanya pada aspek produksi yang selama ini masih menggunakan bahan baku impor industri.

“Pelaku usaha tentu akan mengalami dilema jika hal itu berlangsung dalam waktu lama. Salah satunya yang akan tertekan, misalnya adalah industri alat berat. Mengapa? Karena mayoritas bahan baku masih impor,” katanya.

Kedua, lanjut Charles, dengan pelemahan rupiah sebenarnya menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian investor.

“Namun kita harus berhati-hati dengan argumen ini, mengingat investor akan cenderung tidak suka berinvestasi di sektor riil. Karena saat ini market dalam negeri berada dalam kondisi yang tidak baik,” tukasnya.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *