Foto: Ilustrasi ancaman gempa megathrust di Indonesia.
Jakarta
Ancaman gempa megathrust di Indonesia bukan lagi sekadar wacana, tetapi sebuah kenyataan yang harus dihadapi dengan serius. Berada di kawasan Cincin Api Pasifik, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan terhadap gempa bumi dan tsunami. Dalam konteks ini, kesadaran dan kesiapan masyarakat menjadi kunci dalam memitigasi dampak bencana.
“Ancaman megathrust sangat nyata dan bisa menyebabkan gempa bumi disertai tsunami yang dampaknya meluas. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat mengenai upaya mitigasi sangat penting,” tegas Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam diskusi daring bertajuk “Ancaman Gempa Megathrust di Indonesia” yang diadakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12, pada Rabu (11/9/2024).
Diskusi ini menghadirkan berbagai narasumber yang berkompeten, termasuk Agus Riyanto (Direktur Dukungan Sumber Daya Darurat BNPB), Sumarjaya (Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI), dan Daryono (Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG). Mereka berbicara mengenai pentingnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana.
Lestari, yang juga anggota Komisi X DPR RI, menekankan bahwa Indonesia telah menghadapi berbagai bencana besar, mulai dari gempa dan tsunami Aceh 2004 yang menewaskan 283.000 orang, hingga gempa Palu dan Donggala 2018 yang merenggut lebih dari 2.000 nyawa. “Ini pengingat bagi kita semua bahwa kesiapsiagaan harus terus ditingkatkan, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki potensi gempa megathrust,” katanya.
Menurutnya, untuk mengurangi risiko korban jiwa dan kerusakan, dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh mengenai bencana, serta pembangunan infrastruktur tangguh dan sistem peringatan dini yang handal. Lestari juga menggarisbawahi pentingnya edukasi masyarakat mengenai bencana sebagai langkah proaktif dalam menghadapi ancaman gempa megathrust.
Agus Riyanto dari BNPB menjelaskan bahwa kesadaran kolektif mengenai kerawanan bencana di Indonesia perlu dibangun secara konsisten. Meski bencana gempa bumi jarang terjadi dibanding bencana hydrometeorologi, dampaknya bisa jauh lebih destruktif. “Ada potensi sesar-sesar baru yang bisa memicu gempa di Indonesia, dan kita harus siap,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, untuk bersama-sama menanggulangi bencana. Dengan demikian, mitigasi bencana bisa berjalan lebih efektif dan mampu menekan dampak yang ditimbulkan.
Sumarjaya dari Kementerian Kesehatan menyoroti sektor kesehatan yang kerap tertinggal dalam penanggulangan bencana. Padahal, dalam setiap bencana, nyawa manusia menjadi prioritas utama. “Kita harus memperkuat sistem gawat darurat yang terpadu agar siap menghadapi bencana yang mengancam jiwa,” katanya.
Ia menyayangkan bahwa saat ini hanya 91 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki sistem gawat darurat terintegrasi. Menurutnya, penguatan sistem kesehatan dalam penanggulangan bencana sangat penting untuk meminimalisir korban luka, cacat, atau bahkan kematian.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengungkapkan bahwa dua wilayah di Indonesia yang berada di jalur megathrust, yaitu Selat Sunda dan Mentawai, belum mengalami gempa besar selama lebih dari 200 tahun. “Ini wilayah yang harus diwaspadai,” katanya.
Daryono menekankan perlunya langkah-langkah antisipatif yang segera dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. BMKG, tambahnya, terus memberikan edukasi kepada masyarakat dengan membentuk komunitas siaga tsunami di daerah-daerah yang rawan bencana.
Hal serupa disampaikan Sri Wulan, anggota Komisi VIII DPR RI. Ia menilai potensi bencana di Indonesia sangat besar, terutama gempa megathrust yang disertai tsunami. Untuk itu, edukasi dan sosialisasi mengenai jenis bencana, risikonya, serta apa yang harus dilakukan ketika bencana datang, harus ditingkatkan.
“Keluarga, komunitas, dan pemerintah harus bersinergi agar masyarakat lebih siap menghadapi bencana. Edukasi harus dimulai dari lingkungan terkecil,” tegas Sri Wulan.
Ade Sutonih, Kepala Desa Tamanjaya, Kabupaten Pandeglang, yang pernah mengalami tsunami Selat Sunda 2018, mengungkapkan pengalamannya menghadapi tsunami yang datang tanpa peringatan. “Masyarakat kami tidak tahu tanda-tanda akan datangnya tsunami. Minimnya sosialisasi membuat kami tidak siap,” kenangnya.
Ade berharap pemerintah daerah lebih aktif memberikan edukasi dan jalur evakuasi agar tidak ada lagi korban yang terjebak dalam ketidaktahuan.
Melihat besarnya potensi bencana gempa megathrust dan dampaknya yang dahsyat, kesiapan masyarakat dan pemerintah adalah kunci utama. Sosialisasi, edukasi, dan penguatan infrastruktur menjadi langkah-langkah konkret yang harus segera diambil, demi melindungi seluruh rakyat Indonesia dari ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja.