Foto: Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya.
Jakarta, partainasdembali.org
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya mengatakan UU Nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) akan menghindari potensi aparat penegak hukum (APH) menjadikan korban kekerasan seksual mengalami kekerasan berulang. Hal itu bisa terjadi saat proses penanganan dan penyidikan kasus kekerasan seksual.
Hal itu ditegaskan Willy menanggapi peristiwa santriwati yang kembali menjadi korban kekerasan seksual. Diketahui, sedikitnya 41 santri menjadi korban pencabulan di pondok pesantren di Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dua orang yang diduga sebagai pelaku perkosaan merupakan pimpinan pondok pesantren.
“UU TPKS memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang cepat dan akurat. Layanan serta mobilisasi pun dilakukan oleh tim penanganan kasus, bukan oleh korban,” kata Willy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Legislator NasDem itu menegaskan, perkara TPKS tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. UU TPKS, tambah Willy, akan mengatur hukum acara kasus kekerasan seksual dengan lebih komprehensif. Mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi HAM, kehormatan, serta tanpa intimidasi.
“Dengan UU TPKS, segala prosedur dan mekanisme juga bisa segera diatasi dengan cepat ketika ada hambatan dalam penanganan. Misalnya terkait bukti, korban dapat menjadi saksi atas dirinya,” imbuh Willy.
Dengan UU TPKS, kata Willy, tidak hanya dapat menangkap dan menetapkan tersangka kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual, tapi juga bisa memenuhi hak-hak lain korban. Di antaranya, pemulihan psikologis, restitusi, denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya yang diasesmen oleh pendamping korban.
Menurut Willy, UU itu dapat menjadi sarana efek jera bagi pelaku kekerasan seksual karena hukuman dan dendanya cukup besar, yakni mencapai hingga 15 tahun dan denda senilai Rp1 miliar. Jika denda itu tidak bisa dibayarkan oleh pelaku, maka bisa diganti dengan hukuman penjara.
“Termasuk aturan restitusi yang nilainya didasarkan pada jenis kejahatan yang dilakukan, lamanya ancaman pidana, dan kondisi ekonomi pelakunya. Penetapan restitusi dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan pengadilan,” jelasnya.
Lebih lanjut Willy mengatakan, peraturan turunan UU TPKS ditargetkan selesai dalam waktu dua tahun setelah diundangkan. Namun, ia mengingatkan, peraturan pelaksana penting mengingat UU TPKS menjadi tumpuan dalam mencegah dan menanggulangi kasus kekerasan seksual.
“Kasus kekerasan seksual sudah jadi momok di negeri ini. Jadi semakin cepat aturan teknis UU TPKS diterbitkan, semakin baik. UU TPKS juga tak hanya dapat melakukan penanganan kasus, tapi juga mengatur pencegahan kekerasan seksual sehingga harapannya gunung es ini bisa berkurang,” sambungnya.
Dalam proses pencegahan dan penanganan korban kekerasan, menurut Willy, diperlukan sinergi dan koordinasi semua pihak. Baik dari pemerintah pusat hingga desa, organisasi mitra pembangunan, tokoh masyarakat, dan elemen bangsa lainnya.
“Kami mengharapkan komitmen pemerintah untuk segera membentuk aturan teknis UU TPKS. Ini menjadi upaya negara dalam melindungi setiap warga negara dari ancaman tindak kekerasan seksual,” pungkas Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu.