Foto: Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat.

Jakarta

Peran museum sebagai rumah belajar sekaligus entitas pelestari warisan sejarah dan budaya harus ditingkatkan demi mewujudkan peradaban bangsa yang lebih baik.

“Sudah saatnya kita membenahi pengelolaan museum di Tanah Air dengan menempatkan museum sebagai rumah pendidikan dan pembelajaran,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutannya pada diskusi bertema Museum Mencerdaskan Bangsa-Edukasi di Museum: Zaman Berkembang Cara Berubah, yang digelar Forum Diskusi Denpasar (FDD) 12 bekerja sama dengan Museum Layang-Layang Indonesia di Jakarta, Rabu (29/5/2024), dalam rangka peringatan Hari Museum tahun ini yang bertema Museum untuk Pendidikan dan Penelitian.

Diskusi yang dimoderatori Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Leli Yulifar (Kepala Museum Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia), Misari (Kepala UP Museum Kebaharian Jakarta), Barajiwa AS (Pemimpin Redaksi KokBisa, kanal komunikasi sains) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Restu Gunawan (Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, kondisi dan peran museum saat ini harus diakui masih jauh dari fungsi sesungguhnya, karena banyak yang menilai museum sekadar sebagai gudang barang kuno.

Melihat kondisi tersebut, Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, dibutuhkan upaya bersama untuk mengingatkan masyarakat terkait peran penting museum yang diharapkan mampu menjadi bagian dari proses mencerdaskan bangsa dan merawat nilai-nilai kebudayaan.

Diakui Rerie yang juga legislator dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, saat ini kepedulian terhadap museum sebenarnya sudah mulai tumbuh, tetapi kepedulian itu belum cukup untuk mewujudkan peran museum sebagai tempat edukasi dan pelestarian budaya.

Sebagai institusi budaya yang didaulat sebagai ruang belajar di era globalisasi, ujar Rerie, menuntut perubahan cara pengelolaan yang mampu memberi dampak signifikan dalam bidang pendidikan dan ekonomi.

Namun, tambah Rerie, hingga saat ini kita masih berhadapan dengan berbagai pekerjaan rumah terkait museum yang tak kunjung terselesaikan, antara lain belum jelasnya dasar hukum pengelolaan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia pengelola, pendanaan museum dalam merawat koleksi, serta cara branding agar museum diminati masyarakat.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap para pemangku kepentingan dan masyarakat dapat bahu membahu mewujudkan museum yang mampu berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, sekaligus melestarikan warisan budaya bangsa.

Leli Yulifar mengungkapkan pengalamannya dalam mengelola museum di lingkungan universitas yang sejatinya berfungsi memberi layanan akademik. Ia mengkreasikan pengelolaan museum sebagai tempat praktikum bagi para pelajar.

“Kami membangun museum menjadi edutourism dan edutainment sehingga bisa mendapat profit, dengan membuat kreativitas virtual,” ujarnya.

Untuk mendatangkan pendanaan museum yang dikelolanya, Leli mengungkapkan pihaknya berupaya mewujudkan kerja sama tripple helix antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam menciptakan sejumlah program edukasi.

Misari berpendapat, pengelolaan museum bukan semata untuk merawat dan menampilkan benda-benda bersejarah saja, tetapi juga harus bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam mengelola Museum Bahari, menurut Misari, pihaknya masih banyak memiliki pekerjaan rumah, antara lain terkait perawatan sarana dan prasarana yang ada.

“Mendapat amanah benda cagar budaya memang membanggakan, tetapi ternyata hal itu mengandung konsekuensi biaya yang mahal dalam merawatnya,” ungkap Misari.

Diakuinya, masalah ketersediaan SDM yang memahami pengelolaan museum masih menjadi kendala. Kondisi itu, tambahnya, diperparah dengan Museum Bahari yang pernah terbakar.

Kondisi tersebut mendorong Misari lebih giat membangun kolaborasi dengan pihak swasta dan kampus sekitar museum, di samping tetap memanfaatkan dana dari APBD.

Barajiwa AS berpendapat untuk mewujudkan peran museum yang mampu mencerdaskan bangsa, pekerjaan rumah terbesar adalah harus mampu belajar tidak hanya di sekolah tetapi harus bisa belajar melalui cerita atau story telling.

“Belajar itu harus berdasarkan rasa penasaran dengan menyajikan sudut pandang yang menyebabkan orang bertanya,” tegasnya.

Sebagai contoh, kata dia, untuk membicarakan tentang evolusi, misalnya, bisa diawali dengan pertanyaan mana yang lebih dulu, ayam atau telur? Strategi semacam itu banyak diterapkan oleh para content creator.

Faktanya, tegas Barajiwa, konten edukasi di Youtube saat ini memiliki 1 miliar viewers per hari. Jadi, tambah dia, strategi serupa bisa dipakai oleh pihak-pihak yang ingin memasyarakatkan koleksi-koleksi yang dimiliki museum.

Restu Gunawan mengakui persoalan pengelolaan museum memang cukup pelik. Ketika pemerintah pusat meningkatkan kelas museum di daerah dan mendapatkan dana alokasi khusus (DAK), ujarnya, alokasi dana pemerintah daerah untuk pengelolaan museum malah dicabut.

Padahal, tegas Restu, nilai DAK untuk museum di daerah hanya cukup untuk stimulus pengelolaan saja. Akibatnya, museum di sejumlah daerah banyak yang pengelolaannya tidak memadai.

Isu terpenting yang harus dibenahi, menurut Restu adalah perbaikan kelembagaan dan peningkatan kualitas SDM pengelola museum.

“Kita harus memiliki lembaga profesi di bidang museum yang sehat untuk mendorong sistem pengelolaan museum bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.

Menurut Restu, museum merupakan pilar penting dalam proses pemajuan kebudayaan, sehingga museum harus mampu merangkum masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Untuk mewujudkan hal itu, tegas Restu, membutuhkan SDM museum yang memiliki skill yang memadai.

Sementara itu, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Abdul Kohar berpendapat, membuat yang penting menjadi relevan sesuai zamannya merupakan gambaran yang harus diwujudkan dalam pengelolaan museum.

Di negara maju, ungkapnya, dengan pengelolaan yang baik, mampu mendatangkan jutaan pengunjung museum setiap tahun.

Diakui Kohar, di Tanah Air ada optimisme pascapandemi terkait kunjungan generasi muda ke museum yang mulai meningkat.

“Zaman boleh berubah, museum, pengetahuan, dan sejarah harus tetap relevan. Karena yang lampau tidak selalu usang,” tegas Kohar.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *