Foto: Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya
JAKARTA
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menegaskan bahwa baik pilkada langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD sama-sama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, kedua mekanisme tersebut dapat berjalan dalam kerangka demokrasi Pancasila yang dinamis.
“Kita tidak bisa melihat ini secara hitam putih. Keduanya berada di ranah Pancasila. Pada masa sistem tertutup dulu, itu disebut demokrasi Pancasila. Sekarang, meskipun demokrasi lebih liberal, kita tetap di alam Pancasila,” ujar Willy dalam diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (18/12).
Willy menyoroti bahwa hingga kini, bangsa Indonesia belum dapat memastikan sistem pilkada mana yang lebih mencerminkan esensi Pancasila. Namun, ia mengingatkan bahwa Bung Karno, sebagai penggagas Pancasila, selalu menekankan pentingnya musyawarah dan mufakat sebagai inti dari sosio-demokrasi.
“Kalau bicara tentang variabel substantif bernama sosio-demokrasi, kita sebenarnya sudah menikmati kemewahan demokrasi seperti ini,” ungkap legislator Partai NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sampang, Sumenep).
Willy menilai wacana perubahan sistem pilkada tidak boleh dilakukan tergesa-gesa. Ia mengajak para pemangku kebijakan, akademisi, dan lembaga riset untuk bersama-sama melakukan kajian mendalam.
“Apa yang paling tepat dilakukan harus berbasis riset. Dialog adalah kekuatan kita. Semua sistem politik adalah kesepakatan bersama. Jadi, mari kita duduk bersama untuk menemukan solusi terbaik,” tegasnya.
Ia juga mengkritik tingginya biaya politik dalam pilkada langsung, terutama untuk survei elektabilitas dan popularitas. Menurutnya, kajian berbasis riset dapat membantu mengurangi beban biaya tersebut.
“Selama ini, kenapa pilkada butuh biaya besar? Sistem seperti ini harus bisa diubah. Negara maju mengambil keputusan berbasis riset. Kita punya waktu empat tahun ke depan tanpa pemilu, jadi ini momen yang tepat untuk berpikir jernih,” jelas Willy.
Willy mendorong perguruan tinggi, khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), untuk terlibat aktif dalam kajian sistem politik ini. Kolaborasi lintas lembaga diperlukan untuk menghasilkan rekomendasi yang relevan dan adaptif bagi kebutuhan bangsa.
“Kita butuh survei dan kajian dari kampus-kampus. Meski hasilnya belum tentu final, ini penting untuk memberikan arah yang jelas,” tambahnya.
Ia berharap kajian mendalam dapat menghasilkan sistem politik yang lebih efektif, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan Indonesia di masa depan. “Keputusan tanpa riset hanya akan merugikan kita. Sekaranglah waktunya menarik napas dan memikirkan solusi terbaik untuk bangsa ini,” pungkas Willy.