Foto: Ilustrasi Kerja Sama Skala Global

Jakarta

Membangun kerja sama skala global harus menghadirkan manfaat bagi berbagai sektor pembangunan, bukan hanya untuk kepentingan ekonomi dan investasi semata.

“Aspek perlindungan, kesejahteraan, pendidikan, dan perdamaian dunia mesti menjadi basis dalam perluasan kerja sama global kita,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (22/1/2025), bertajuk Setelah Indonesia Gabung BRICS: Peluang dan Manfaat Ekonomi Apa Saja yang Kita Dapatkan?

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Arif Havas Oegroseno (Wakil Menteri Luar Negeri), Tirta Nugraha Mursitama (Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal di Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia/BKPM), dan Yose Rizal Damuri (Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies /CSIS) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Amelia Anggraini (anggota Komisi I DPR) dan Esther Sri Astuti (Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance/INDEF) sebagai penanggap.

Lestari berpendapat, secara prinsip berbagai terobosan kerja sama internasional yang diinisiasi pemerintah mesti menaati apa yang diamanatkan oleh konstitusi.

Konstitusi, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, mengamanatkan bahwa pemerintah harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Menurut Rerie yang juga anggota Komisi X DPR dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, kita perlu mendapat gambaran dari para pemangku kepentingan dan semua pihak terkait, sehingga apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah untuk bergabung dengan BRICS, bisa dikawal bersama.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap dengan bergabungnya Indonesia dalam BRICS, tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi sekaligus menjalankan praktik politik luar negeri yang bebas dan aktif dengan tepat.

Arif Havas Oegroseno mengungkapkan, titik berat BRICS tidak pada Rusia, tetapi lebih pada Tiongkok dan India yang memiliki volume ekonomi besar.

Menurutnya, banyak peluang yang bisa diciptakan dari sisi perjanjian perdagangan dengan negara-negara anggota BRICS. Selain itu, bisa diupayakan penyusunan norma atau standar di bidang perdagangan versi negara-negara BRICS untuk menandingi standar perdagangan Uni Eropa yang kerap mengedepankan aspek keberlanjutan dan lingkungan.

Bila para anggota BRICS bisa menyamakan pandangan terkait sejumlah permasalahan perdagangan, Arif Havas menilai, daya tawar Indonesia dalam kerja sama perdagangan dengan negara lain akan semakin kuat.

Selain itu, tambah Arif Havas, BRICS juga bisa menjadi sarana untuk me-leverage kepentingan-kepentingan Indonesia dalam kerja sama global.

Yose Rizal Damuri mengungkapkan bahwa dirinya termasuk orang yang tidak setuju dengan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS.

“Namun, kita harus move on, karena keputusan sudah diambil. Yang harus dikedepankan adalah bagaimana kita membuat langkah strategis bersama BRICS,” ujar Yose Rizal.

Menurut dia, kepentingan Indonesia yang bisa diangkat dalam BRICS sepertinya harus di luar aspek perluasan pasar, seperti antara lain bagaimana mendapatkan pembiayaan tambahan untuk membiayai program pembangunan nasional dan memperkuat fondasi aspirasi ASEAN.

Di sisi lain, Yose Rizal menilai ada permasalahan yang harus dihadapi oleh Indonesia bila melakukan perdagangan dengan negara-negara BRICS.

Sebagian besar negara BRICS, jelas dia, memiliki surplus perdagangan yang cukup besar, seperti Tiongkok, Rusia, dan Arab Saudi). “Bila semua produsen, yang membeli produknya siapa?” tanya Yose Rizal.

Tirta Nugraha Mursitama mengungkapkan, sejumlah hal bisa dimanfaatkan Indonesia dengan bergabung di BRICS. Sejumlah peluang kerja sama sangat terbuka, tinggal bagaimana kita bisa mengkapitalisasinya.

Tujuan foreign direct investment (FDI) di negara-negara BRICS, jelas Tirta, cendrung mengalami peningkatan. Peluang kerja sama dengan negara-negara BRICS bisa difokuskan pada 15 komoditas seperti batu bara, minyak mentah, baterai lithium, hingga baterai untuk kendaraan listrik.

Apalagi, jelas dia, pada kunjungan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu ke Brasil, telah ditandatangani nota kesepahaman kerja sama perdagangan senilai US$2,8 miliar.

Kerja sama dengan negara-negara BRICS, tambah Tirta, juga bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kapabilitas Indonesia melalui transfer teknologi dari para anggotanya, sehingga dapat meningkatkan daya saing nasional terhadap negara-negara di luar BRICS.

Pada kesempatan itu, Amelia Anggraini, mengungkapkan, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS menjadi pertanyaan sejumlah koleganya dari sejumlah negara.

“Mengapa Indonesia bergabung ke BRICS? Apa keuntungannya?” tanya Amelia, mengutip sejumlah pertanyaan yang mengemuka pada sejumlah diskusi di parlemen dan koleganya dari luar negeri.

Di sisi lain, menurut Amelia, bergabungnya Indonesia ke BRICS berpeluang memperkuat diplomasi dalam perekonomian global.

“Ini bagian dari implementasi politik luar negeri kita yang bebas dan aktif,” ujarnya.

Amelia mengingatkan agar dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara BRICS selalu mengedepankan prinsip kehatian-hatian dan menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya.

Esther Sri Astuti mengungkapkan ketertarikan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS karena menilai pasar negara-negara anggotanya sangat besar setara dengan 40% pasar negara di dunia.

Namun, ujar Esther, negara-negara anggota BRICS saat ini sedang menghadapi masalah ekonomi dengan beragam pemicunya.

Di sisi lain, tambah dia, neraca perdagangan Indonesia dengan sejumlah negara BRICS mengalami defisit, sehingga Indonesia berpotensi dijadikan pasar dari produk-produk negara BRICS.

Selain itu, tegas Esther, perlu juga dicermati akan adanya kewajiban finansial bagi Indonesia sebagai anggota baru di BRICS. Sebagai anggota yang bukan pendiri, jelas dia, kemungkinan adanya hak eksklusif dari para negara pendiri dalam pengambilan keputusan, sehingga harus diwaspadai.

Pada kesempatan itu, wartawan senior Usman Kansong mengungkapkan, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri RI periode 2014-2024 memberi pertanyaan kepada Presiden Prabowo, saat diminta pendapatnya sebelum Indonesia menjadi anggota BRICS. “Adakah manfaat ekonomi bagi kita, jika kita bergabung ke BRICS?” ujar Retno suatu kesempatan.

Akhirnya, ujar Usman, Presiden Prabowo memutuskan Indonesia bergabung dengan BRICS, tentu sudah mempertimbangkan banyak manfaat dari keanggotaan tersebut.

“Sekarang tergantung kita, apakah kita siap mewujudkan manfaat itu menjadi nyata atau tidak,” tutur Usman.

Bagikan Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *